Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Legenda Nene Mallomo l Cerita Rakyat Sulawesi, Sidenreng Rappang

Sidenreng legenda Nene Mallomo

Di suatu kerajaan Sidenreng hiduplah seorang laki-laki sebagai tokoh cendekiawan dan ahli hukum yang terkenal di masa pemerintahan lapatiroe, dia mengubah tanah tandus menjadi tanah yang subur sehingga pangan dan ternak pun tumbuh melimpah di kerajaan Sidenreng. Orang menganggap dia utusan dari langit, ada juga yang menganggap orang jadi-jadian namun mereka semua memanggil dia Nene Mallomo.

Legenda Nene Mallomo.

Nene Mallomo bukanlah sebuah nama melainkan gelar yang di berikan oleh raja lapatiroe yang berarti orang yang muda memecahkan masalah. Nama aslinya adalah La Pagala, tidak seperti yang di bicarakan orang lain Nene Mallomo hanyalah orang biasa yang mempunyai seorang istri dan anak. kecerdasan dan kerja kerasnya yang membuat Nene Mallomo di angkat sebagai penasehat Raja Sidenreng, karena itu ia terkenal di Sidenreng bahkan sampai kerajaan tetangga.

Raja wajo, Puang Rimaggalatung pernah bertanya apa rahasia sampai tanah Sidenreng memiliki pangan dan ternak yang melimpah? Nene Mallomo menjawabnya dengan "resopa temmangingi namallomo nalettei pammase dewata". Yang berarti kerja keras tanpa putus asa akan mendapatkan rahmat tuhan yang maha esa. Namun Nene Mallomo bukanlah manusia sempurna, ada sebuah kejadian di mana Nene Mallomo tidak dapat mengatasi masalah dengan mudah.

Bermula pada saat panen raya dimulai padi yang dulunya mengeluarkan bulir beras kini layu mengering akibat kemarau berkepanjangan, sungai dan sumur sebagai sumber air kini kering akibat air hujan tidak kunjung turun, seluruh masyarakat Sidenreng sedih karena pangan dan ternak mereka mati. Raja Lapatiroe memerintahkan Nene Mallomo mengatasi masalah ini namun Nene Mallomo kebingungan, mengapa air hujan tidak kunjung turun? Panen kedua dan ketiga pun sama sampai kemarau ini berlangsung dua tahun lamanya.

Beras cadangan sudah mulai habis, masyarakat Sidenreng mulai dilanda kelaparan, sebagian masyarakat mulai mengkonsumsi ubi beracun walau nyawa menjadi taruhannya. Nene Mallomo yang telah mengelilingi kampung belum juga mendapat petunjuk untuk memecahkan masalah kekeringan ini, ia berpikir mengapa Sidenreng yang dulunya subur sekarang menjadi kering.

Di rumah Nene Mallomo merenungi nasib masyarakat Sidenreng yang diambang kematian namun sesuatu ketika ia menyadari satu hal yang ia lewatkan, selama ini ia hanya fokus ke lingkungan Sidenreng tapi melupakan masyarakat itu sendiri, ia teringat ucapannya sendiri saat Puang Rimaggalatung bertanya alasan tanah Sidenreng terkenal kaya ternak dan pangan serta tanah yang subur.

Nene Mallomo akhirnya menemui Raja Lapatiroe untuk mengadakan tudang sipulung bersama warga untuk membahas temuannya. Setelah semua warga berkumpul Nene Mallomo menyampaikan bahwa Sidenreng yang dulunya pangan dan ternak tumbuh subur bukan dari alam itu sendiri melainkan dari tuhan yang memberikan kelimpahan rezeki atas kerja keras dan kejujuran kita sebagai orang Sidenreng, kekeringan ini akibat azab dari Tuhan Yang menghukum masyarakat Sidenreng yang tidak berlaku jujur.

Nene Mallomo menyuruh warga yang merasa sudah berbuat tidak jujur termasuk mencuri untuk maju ke hadapannya untuk diadili, warga pun kebingungan karena selama ini mereka berperilaku baik dan jujur selama ini, di saat tengah-tengah kebingungan itu ada satu orang yang berjalan menghadap Raja, sosok tersebut adalah putra Nene Mallomo. Semua orang pun terkejut termasuk Nene Mallomo, ia mengaku telah mengambil sebilah kayu di kebun tetangga untuk dijadikan mata garu.

2 tahun lalu ia bersama dua pasang kerbaunya membajak sawah miliknya, di mana di tengah sawah mata garunya patah, untuk memperbaiki mata garunya ia kemudian mencuri kayu di kebun tetangga. Nene Mallomo sedih mendengar pernyataan anaknya sendiri, dengan berat hati Nene Mallomo menyatakan hukuman mati untuk anaknya sendiri. Warga pun keberatan karena sampai hati Nene Mallomo menembus kayu sekerat itu dengan nyawa anak kandungnya sendiri.

Nene Mallomo menjelaskan keputusannya telah bulat dan berkata "ade'temmakke ana' temmakke appo" yang berarti hukum tidak mengenal anak dan cucu. Nene Mallomo hanya bisa tegap berdiri sambil menahan tangis melihat anaknya sendiri yang akan di hukum mati, di saat suasana tegang tersebut tiba-tiba air hujan mulai turun, warga yang tadinya keberatan kini gembira melihat air hujan pertama selama 2 tahun lamanya, kini tanah Sidenreng kembali subur dan masyarakat sudah bisa menanam padi dan berternak kembali seperti sedia kala.